Kawan menambahkan, bukankah fungsi pers adalah menyampaikanpublic awareness, salah satunya menunjukan secara jelas penjahat berbahaya kepada publik. Dia mencontohkan kasus burunon DPO (daftar pencarian orang) yg diburu dalam top listed most wanted yg sering dilansir oleh Mabes Polri dengan muka yg jelas dan data yg lengkap. Protes dia menyangkut beberapa kasus kriminal berat salah satunya ketika merebak kepermukaan kasus mutilasi kejam dan pembunuhan berantai yg dilakukan oleh TSK (tersangka) Baekuni alias babeh atas beberapa bocah jalanan.
Kata dia lebih lanjut, khalayak luas harus diberi informasi jelas muka dan identitas Baekuni shg terekam dengan tegas dikalangan luas betapa berbahayanya orang ini jika nantinya dilepas dari penjara. Publik berhak tau siapa saja yg pernah terkait kasus kriminal berat dan membahayakan keselamatan umum atau keluargadinegara ini. Pers tidak boleh menutup nutupi identitas pelaku mengingat kepentingan masyarakat luas ada dikasus seperti ini, yakni keselamatan setiap keluarga dinegara kita.
Soal silang pendapat perlu tidaknya menyamarkan pelaku kejahatan berat dengan efek digitall blured di TV sebetulnya bukan barang baru. Sejak jaman pers cetak, silang pendapat ini juga kerap terjadi. UU Pokok Pers menyebutkan bahwa pers harus menjaga asas praduga tak bersalah. Caranya dengan memberi tanda pelat hitam dimata TSK, atau mengaburkan mukanya. UU menyebutkan bahwa memasang identitas pelaku kejahatan
Dikalangan pers broadcast, silang pendapat ini juga terjadi. Sebagian menayangkan dengan sengaja identitas pelaku secara tegas dan frontal. Lalu sebagian lain tetap mengikuti cara konservatif dengan menyamarkan identitasnya dengan memberikan efek digital blured atau mengambil TSK dari balik punggung saja. Buah simalakama, suka tidak suka akhirnya memang bukan pilihan bagus buat hal semacam ini.
Secara jujur konflik bhatin mengenai hal ini juga terjadi dikalangan dalam pers TV, kami yg bekerja di program news buletin REPORTASE Transtv juga mengalami kegamangan menakar kasus kasus spt ini tiap saat. Melihat kasus amoral spt kasus perkosaan dan pencabulan anak dibawah umur, rasanya ingin ditampilkan saja muka secara tegas. Manusia waras pasti marah melihat anak kecil diperkosa, kita juga kok.
Untuk apa pers seakan melindungi jatidiri pemerkosa? Buat apa harus menjaga identitas pelaku yg tertangkap tangan meniduri bocah dibawah umur? Pers seharusnya 100% berpihak penuh kepada nasib korban dan keluarganya, bukan kepada pelakunya? Dan bukankah masyarakat perlu tahu juga siapa itu penjahat kriminal yang pernah tersangkut perkara sejenis? Jangan tanya, dikalangan internal kami banyak juga yg merasa jengkel dan gemas melihat kasus spt ini. Payung aturan yg membawahi pers itu seakan akan terasa "tidak adil" bagi kepentingan publik untuk mengetahui informasi yg sebenarnya.
Banyak kasus amoral terjadi dalam konteks yg tidak sumir, misal TSKnya tertangkap tangan ketika digrebek, ada saksi banyak, dan pelakunya sendiri memang secara verbal sudah mengakui. Dikasus Baekuni ini, dia sendiri sudah mengakuinya, dan dia melakukan itu hingga sekian kali.
Peraturan memang tidak selalu memuaskan banyak pihak, diterjemahkan oleh tiap orang bisa saja berbeda beda. Asas praduga tak bersalah terdengarnya memang baik, tapi untuk kasus TSK pemerkosa dan pencabulan, rasanya tidak memenuhi keinginan banyak orang agar TSK nya tidak perlu dijaga identitasnya.
***hsgautama.multiply.com

0 komentar:
Posting Komentar